Kesempatan yang Hilang Oleh Elizabeth Suryani Penulis adalah siswa SMPKr Petra 5 Surabaya Siang ini udara panas sekali. Begitu sampai di rumah, aku langsung meletakkan tas dan merebahkan diri di ranjang. Tubuhku begitu capek. Di sekolah aku cukup kesulitan mengerjakan ulangan fisika. Masih ada lagi PR kliping sejarah yang harus kuserahkan kepada pak Yudi besok. Ah, mungkin lebih baik kalau aku tak usah datang ke kursus piano sore nanti. Ternyata bukan saja tubuhku yang penat, tapi juga pikiranku. *** "Sandra, tunggu aku!" Kudengar teriakan Via dari arah belakang. Ketika aku menoleh, ia sudah ada di sampingku. "Hei, mau ke kantin ya? Kenapa aku ditinggal?" tanyanya polos. Aku memasang muka dingin. Tapi rupanya Via belum juga mengerti. "San, kenapa sih? Kamu marah, sakit, atau apa?" Aku menghela nafas, jengkel. Baru saja aku mau buka mulut. Dia sudah bicara lagi. "Og, gara-gara aku ngomong terus sama Devi? Sori ya San. Aku nggak tahu kalau kamu sudah nunggu aku." "Enak banget kamu kalau ngomong! Kamu pikir segitu gampang minta maaf? Nggak Vi!" jawabku dengan marah pada Via yang kelihatannya sangat terkejut. "Lho, kok kamu jadi marah banget gitu sih San?" tukas Via hati-hati. "Eh, pakai nanya lagi. Tahu nggak, sejak anak baru itu masuk ke kelas kita, kamu jadi sibuk terus ngurusin dia. Lantas aku dicuekin. Udah deh, nggak usah ngikutin aku terus kayak gitu." Aku mengakhiri pertengkaran kami dan menghindar dari Via. Benar dugaanku, rupanya pertengkaran di sekolah tadi yang membuat aku jadi uring-uringan terus. Tapi Via memang salah. Sejak ada Devi, perhatiannya pada anak baru itu melulu. Mulai dari kenalan, ke kantin bareng, bantuin dia kalau ada pelajaran yang nggak bisa, sampai ngajak Devi jalan ke mal waktu Via ultah minggu lalu. Emang sih, aku selalu ada sama mereka. Tapi tetep aja aku merasa tersisihkan. Lama-lama aku jadi berpikir kalau Via memang sengaja manas-manasin aku. Dasar anak jahat. Gara-gara dia, seharian ini aku bete abis. Mau ngapa-ngapain jadi nggak enak. Huh! *** Sebulan berikutnya, kami masih saja diam-diaman. Sebenarnya Via sudah beberapa kali mencoba minta maaf. Tapi aku belum bisa menerimanya. Sampai sore ini, ketika aku sedang nonton televisi di kamar, bi Ratmi mengetuk pintu kamarku dan berkata, "Non, ada telepon." "Dari siapa Bi?" "Dari Via, Non." Aku langsung memasang muka masam. "Bilang aja Sandra lagi tidur Bi." "Baik Non," jawab bi Ratmi. Aku menghela nafas panjang. "Ada apa sih San?" Tiba-tiba mama sudah duduk di tepi ranjangku. Lalu kuceritakan semuanya pada mama. Mama hanya tersenyum. "Sandra, bukan salah Via kalau dia mau berteman dengan siapa pun. Termasuk sama kamu dan Devi. Coba kamu bayangkan kalau berada di posisi Via. Pasti sedih kalau kamu terikat, hanya boleh berteman dengan orang tertentu," kata Mama. "Kalau cuma itu sih Sandra juga nggak akan ambil pusing. Tapi ini lain Ma. Via sudah berteman dengan Devi, terus Sandra nggak dianggap lagi. Terang aja Sandra marah." Aku membantah perkataan mama. "Lho, apa buktinya? Minggu lalu dia masih ngajak kamu ke mal. Setelah itu masih sering nelepon kamu. Tapi kamu malah nggak mau nerima. Ironis sekali kalau kamu bilag Via nggak peduli lagi sama kamu." Aku terdiam mendengarnya. Kata-kata mama yang terakhir mengena di hatiku. Kuakui dalam hati kalau sebenarnya aku setuju dengan mama. "Mungkin itu hanya perasaanmu saja San. Padahal, kalau kamu mau turut dalam kegembiraan mereka, pasti kamu akan merasa persahabatan kalian semakin lengkap," ujar mama bijaksana. Benar juga. Ini hanya prasangka burukku. Via masih mau meneleponku, minta maaf padaku. Yang seharusnya minta maaf itu aku, bukan Via. "Dipikirkan lagi, Sandra. Sayang kalau kamu harus kehilangan sahabat gara-gara masalah sepele." Mama keluar dari kamarku. Baiklah, besok aku akan membuat kejutan besar buat Via. *** Keesokan harinya, pagi-pagi aku sudah tiba di sekolah. Aku tahu Via pasti belum datang. Aku ingin memberinya kejutan. Sambil menunggu, kubaca buku Harry Potter seri keempat yang kupinjam dari perpustakaan sekolah. Karena terlalu asyik, aku tak sadar dengan berlalunya waktu. Tiba-tiba saja bel masuk sudah berbunyi. Aku tersentak. Kusapukan pandangan ke seluruh ruang kelas. Tidak ada Via! Aku benar-benar kecewa. Kuhempaskan tubuhku ke kursi. Tiba-tiba Devi sudah berada di sampingku. Sambil menyodorkan sebuah amplop, dia berkata, "Sandra, nih surat dari Via buat kamu." Ia kembali ke bangkunya. Aku merasa heran. Kubuka amplop itu dan kudapati secarik kertas dengan tulisan tangan Via. Sandra, maafkan aku kalau menurutmu aku salah. Maksudku cuma pengin temenan sama Devi. Aku nggak nyangka kamu tersinggung. Kemarin, aku tahu kalau kamu sengaja nggak mau nerima teleponku. Sebenarnya, aku mau minta maaf sama kamu. Sekalian mau bilang kalau hari ini aku pindah ke Lampung karena papaku ditugaskan di sana. Jadi maafin aku ya. Aku juga pengin kamu berteman sama Devi. Jangan benci dia, Devi nggak salah apa-apa kok. Udah dulu ya. Dan jangan lupain aku San. Sahabatmu, Via Aku tertegun membaca surat Via. Tak kusangka Via sudah tidak di dekatku lagi. Rasanya ini terlalu cepat. Aku belum sempat minta maaf. Aku belum sempat menjalin ulang tali persahabatan kami yang retak. Semua yang indah berlalu sia-sia karena kebodohanku. Dan sekarang, kesempatan itu sudah hilang.